masukkan script iklan disini
Sederhana dan sapaan Bung
Oleh Syamsul Hidayah
Staf Humas Pemkot Prabumulih
Dahari Sukari (DS).Nama ini saya baca pada 1994 di kotak redaksi Suara Rakyat Semesta (SRS). Nama itu bagian dari kru redaksi koran yang "berafiliasi" dengan Harian Pikiran Rakyat Bandung. DS tertera bertugas di Muaraenim.
Era itu SRS bersama Sriwijaya Post menjadi bacaan utama masyarakat Sumatera Selatan. Kalau Sriwijaya Post terbitnya harian, SRS terbit seminggu tiga kali, Senin, Rabu dan Jumat.
Ketika itu saya hanya mengenal namanya saja. Tidak tahu seperti apa sosok DS.
Duapuluhtahun kemudian, saya baru bertemu dengan DS. Tempatnya di Kantor Persatuan Wartawan Indonesia ( PWI) Kota Prabumulih, satu kompleks dengan Perkantoran Pemerintah Kota Prabumulih. Kantor PWI terletak di bawah dekat parkir motor sekarang telah menjadi ruangan Bagian Umum dan Bagian Perlengkapan Kota Prabumulih.
Sehari-hari DS dapat ditemui di Kantor PWI itu. Saat itu dia didapuk menjadi Ketua PWI Kota Prabumulih. DS orangnya sederhana. Selalu mengenakan baju kaos kerah, celana jins dan sepatu olahraga. Energik tapi santai.
Tutur katanya pelan. Lebih banyak tersenyum daripada tertawa. Ia tidak punya stok humor dalam bicara. Dia hanya menimpali humor dari lawan bicaranya.
"Bung syamsul, apakah mereka mengerti dengan 5 W plus 1 H, feature, tajuk, mudah nian orang sekarang jadi wartawan, " ujar DS kepada saya suatu hari di Kantor PWI Prabumulih empat tahun silam.
Dia selalu menyapa saya dengan sebutan Bung. Nama saya itu kata dia mengingatkannya pada mantan petinju nasional dan seringkali jadi komentator tinju, Bung Syamsul Anwar Harahap.
Suatu hari, setengah bercanda saya menolak disapa Bung.Kata saya, di Indonesia ini hanya ada empat Bung; Bung Karno; Bung Hatta, Bung Syahrir dan Bung Tomo.
"Sekarang sudah lima, kamu Bung," kata DS.
Pertanyaan diatas tadi wujud keresahan DS terhadap kian banyak dan mudahnya orang menjadi wartawan. Menurutnya, wartawan ini profesi yang sama dengan profesi lain seperti dokter atau pun pengacara.
Karena profesi, dia harus melewati sejumlah pendidikan jurnalistik. Dahulu, karena PWI menjadi satu-satunya organisasi wartawan zaman Orde Baru, PWI inilah yang sering mengadakan pelatihan jurnalistik bagi wartawan mulai dari dasar, menengah dan tingkat lanjut
Di luar PWI, ada organisasi yang sering juga mendidik wartawan yaitu Lembaga Pers dr Soetomo Jakarta dan LP3Y di Yogyakarta.
"Pak Dahari, itulah euforia, semua orang bebas, termasuk bebas jadi wartawan, biarlah masyarakat yang menilai, mana yang profesional mana yang tidak," ujar saya menanggapi pertanyaan DS tadi.
"Setuju Bung, jadi kalau masyarakat dirugikan oleh pemberitaan silahkan adukan ke dewan pers, jika masyarakat merasa diperas adukan ke polisi, semua terserah masyarakat;" ujar DS.
Di kalangan wartawan di Sumsel, DS cukup dikenal. Ia memang senior. Beberapa kali dia sempat membantu teman-temannya yang mengelola media terbitan Palembang untuk menjadi koresponden di wilayah Muaraenim dan Prabumulih.
DS pernah di Sumsel Post, Jurnal Sumatera, Seputar Indonesia serta sejumlah media mingguan dan bulanan. Dia sendiri memiliki media, Majalah Vasad namanya.
DS pribadi yang tak pernah usil dengan orang lain. Ia juga menjalani hidup tidak neko-neko. Katanya, hidup ini jangan terlalu ambisius.
"Semua sudah di atur oleh Allah, kalau pun ada masalah tetap ikhtiar," ujar DS yang selalu rajin salat zuhur dan ashar berjamaah di Masjid Baiturahman Pemkot Prabumulih.
Semenjak tidak menjabat Ketua PWI Prabumulih, saya jarang berinteraksi dengan DS. Terakhir, saat perjalanan ke Bandung November lalu, saya sempat berbagi cimol, makanan khas Bandung, dengan DS.
"Lemak (enak) jugo, bung," kata DS sambil tersenyum setelah saya beri Cimol.
Itulah kenangan terakhir saya dengan DS sampai Kamis 15 Februari 2018 pukul 14.30 seorang wartawan mengabarkan DS telah menghadap Allah di usia 64 tahun. Esoknya, usai salat jumat DS dikuburkan di Gelumbang Muaraenim.
Selamat Jalan Pak Dahari. Semoga Allah SWT mengampuni segala dosa Pak Dahari. Al Fatihah.