• Jelajahi

    Copyright © POSMETRO.ID
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Kriminal

    Palestina, dari Utsmaniyah hingga Masuknya Zionis Israel

    12 Februari 2018, Februari 12, 2018 WIB Last Updated 2018-02-12T11:44:56Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini
    Oleh :
    Arafah Pramasto,S.Pd

    Palestina   secara   historis   telah   dikuasai   oleh   orang-orang   Mamalik (Mameluke),  sejak  terjadinya  Perang  Ain  Jalut  di  wilayah  Palestina  pada  1260 dimana Qutuz dan Beybarz, penguasa Mamalik berhasil mengalahkan Panglima Mongol yang beragama Nestorian, Kitbugha (Kitbuqa) Khan. Mamalik awalnya adalah tentara elit yang berasal dari para budak Turki, kebanyakan berasal dari suku Kipchak, yang mengabdi pada dinasti Ayyubiah (Kurdi) di Mesir.
    Setelah kematian Sultan Ayyubiah terakhir, Turansyah pada 1250, Izuddin Aibik mengambil kendali pemerintahan dan menguasai wilayah seperti Mesir, Palestina dan sebagian Syam (Suriah).

    Mamalik kemudian menghidupkan kembali Kekhalifahan Abbasiyah di Mesir sebagai boneka guna mendapatkan legitimasi atas kekuasaanya.  Kekuasaan Mamalik kemudian melemah pada kisaran tahun 1500-an akibat perang saudara dan banyak wilayah mereka (termasuk Palestina) yang mulai terbengkalai.

    Keadaan tersebut menyebabkan Selim I berikhtiar memasukkan wilayah Palestina  ke  dalam  wilayah  Utsmani.  Disamping  itu,  dinasti  Safawiyah  yang beraliran Syiah Duabelas telah menjadi ancaman bagi Utsmaniyah mengingat penguasa Safawiyah, Syah Ismail I gencar mengirim pendakwah Syiah ke wilayah Antiokia.

    Dengan dikuasainya Palestina (dulu disebut Al-Quds/Tanah Suci), maka ia mampu membuka gerbang menuju Mesir dan memungkinkan baginya merebut gelar Khalifah dari tangan Khalifah Abbasiyah Al-Mutawakkil III yang berada di bawah pengaruh Mamalik di Mesir, di sisi lain akan lebih dekat baginya untuk mengatasi ancaman dinasti Safawiyah yang beraliran Syi’ah.

    Usahanya menuai hasil ketika ia mengalahkan Syah Ismail dalam pertempuran Chaldiran (1514), merebut Palestina dari Mamalik (1516), dan Mesir (1517). Kemenangan Utsmani semakin sempurna tatkala  pengganti Selim I, Sultan Sulaiman I  yang  bergelar  “Si Hebat” berhasil mengusir Safawiah dari Baghdad pada 1535.

    Sultan Sulaiman I juga digelari oleh rakyatnya sebagai Kammi (pemberi hukum). Dia merevisi dan mengembangkan Kanun Nameh, kode hukum kesultanan yang pertama kali dihimpun  dan disebarkan oleh Mehmet II. Sejumlah hukumnya melindungi hak-hak Yahudi dan ‘Rayas’ (terlindungi), orang-orang Kristen yang hidup dalam komunitas mereka sendiri dalam kesultanan itu.

    Di kesultanan Utsmaniyah, kelompok-kelompok agama boleh  mendirikan komunitas  mereka  sendiri yang disebut ‘Millet’, pada setiap Millet mereka boleh melaksanakan hukum agama dan adat mereka sendiri di bawah pemimpin mereka dan perlindungan Sultan.

    Tidaklah heran setelah jatuhnya Konstantinopel pada 1453, Islam tidak dipaksakan kepada penduduknya. George dari Hungaria   pernah   menulis,   ”Orang   Turki   tidak   memaksa   siapapun untuk menanggalkan keyakinannya,  tidak  mati-matian  membujuk  orang  lain  dan  tidak terlalu peduli dengan soal balas dendam.”

    Itu sesuai dengan ucapan Sultan Mehmet II (pendahulu Sulaiman I) kepada Genadios, Rahib Kristen Ortodoks setelah takluknya Ibukota Byzantium itu,  dan Sultan menunjuknya sebagai Patriark, ”Jadi Patriark-lah kamu, semoga beruntung, dan pastikan persahabatan kita tetap terjaga. Peliharalah seluruh hak yang dinikmati Patriark sebelum kamu.”

    Di ujung lain wilayah Mediterania, tepatnya di Semenanjung Iberia, penaklukan terakhir Spanyol oleh Raja- Raja Katholik tehadap wilayah Islam (Disebut sebagai gerakan Reconquista) di Granada, megakibatkan terjadinya pemaksaan agama (dibawah institusi Gereja yang disebut Inkuisisi-Pen) atau pengusiran seluruh Muslim dan Yahudi dari wilayah itu. Karen Armstrong berpendapat bahwa Inkuisisi adalah instrument “jahat” dalam sejarah peradaban Barat di masa Reconquista.

    Di Spanyol misalnya, inkuisisi secara resmi dibentuk oleh Paus Sixtus IV pada November 1478, dan baru berakhir pada 1820. Pembentukan ini dipicu oleh laporan bahwa para Yahudi dan Muslim yang dipaksa memeluk Kristen (dikenal sebagai converses dan marranos) masih tetap mempraktikkan ritualitas agama mereka yang lama.

    Pada 1480, dimulai satu penyelidikan dan pengadilan terhadap di sebuah jalan utama di kota Barcelon yang dikenal sebagai Ramblas. Disini semua korban disiksa. Kaum Kristen yang berasal dari Yahudi, misalnya, dicap sebagai heretics karena masih mempraktikkan tradisi Yahudi, seperti mengenakan baju linen setiap hari Sabtu, atau tidak mau memakan babi. Dalam setahun saja tidak kurang dari 300 orang dibakar hidup-hidup.

    Kondisi kaum Yahudi dan  Muslim menjadi  lebih  buruk setelah Thomas de  Torquemada menjadi “Inquisitor General” untuk wilayah Castille dan Aragon pada 1483.
     
    Jumlah yang   dibakar   hidup-hidup   semakin   banyak.   Torquemada kemudian   berusaha mengusir seluruh Yahudi dari Spanyol. Upaya ini kemudian berhasil, dengan dikeluarkannya perintah pengusiran Yahudi dari Spanyol oleh Ferdinand dan Isabella, yang dikenal dengan General Edict on the Expulsion of the Jews from Aragon and Castile.

    Berbeda dengan keadaan di Eropa, kaum Yahudi di wilayah Utsmani merasakan hidup yang damai dan sejahtera. “Di sini di tanah orang Turki, kami tidak punya  keluhan apa-apa”,  tulis  seorang rabbi kepada saudaranya  di Eropa, “Kami sangat beruntung, kami mempunyai emas dan perak. Kami tidak dibebani pajak yang besar dan perdagangan kami bebas bejalan tanpa kendala.”

    Sejumlah pengunjung Yahudi dari Eropa sangat tercengang dengan kebebasan yang dinikmati kaum Yahudi di Palestina. Pada tahun 1535, David de  Rossi,  seorang Yahudi Italia,  mencatat bahwa di wilayah Utsmani, kaum Yahudi bahkan memegang posisi-posisi di pemerintahan, sesuatu yang  mustahil terjadi di Eropa. Ia mencatat, “Kami disini bukanlah hidup di buangan, tetapi layaknya di negeri kami sendiri.”
    Roger Lockyer bahkan memuji kekuatan Militer Utsmani dalam pendapatnya, “Tentara Turki adalah buah dari toleransi bangsa Turki terhadap masyarakat yang mereka taklukkan. Walaupun bagian besar populasi Kekaisaran Utsmani adalah Yahudi dan Kristen, mereka tidak tertarik untuk (memaksakan) konversi agama.”

    Perlindungan Utsmani kepada Yahudi menjadi benar-benar berharga tatkala Inkuisisi tengah bergulir di Eropa. Utsmani saat itu dipimpin oleh Sultan Bayezid II yang memerintah pada 1481-1512. Pada bulan April 1892, Yahudi di Turki Utsmani merayakan  apa  yang   mereka  sebut  sebagai,   “the  fourth  centennial  of   their immigration to Turkey.” Suatu doa dipanjatkan untuk mensyukuri keberadaan “400 tahun Yahudi di Turki Utsmani,” yaitu sejak mereka mendapatkan perlindungan dari Sultan Bayezid II.

    Istilah mereka, “the four hundred years since the Jews had come to find shelter under the wings of righteous and compassionate sultan, Sultan Bayezid II.” Ucapan selamat pun diucapkan oleh The Central Committee of the Alliance Israelite Universelle in Paris kepada Sultan Abdul Hamid II yang berisi : 

    “ Pada musim semi tahun 1492, kaum Yahudi yang diusir dari Spanyol menemukan perlindungan di Turki. Sementara mereka ditindas di belahan dunia lainnya, mereka tidak pernah berhenti menikmati perlindungan di negeri-negeri leluhur Tuan yang jaya. Mereka mengizinkan Yahudi hidup dalam keamanan, untuk bekerja dan untuk membangun… The Alliance Israelite Universelle bersama dengan Yahudi Turki; dan seluruh  pemeluk  agama  lain  dari  semua  negeri,  bergabung  dengan  kami  untuk merayakan ulang tahun ke-400 bertempatnya Yahudi di Turki.”

    Toleransi yang dianut oleh Turki Utsmani adalah refleksi Islam yang terproyeksikan   dalam perlindungan mereka pada orang-orang Yahudi. Karen Armstrong, seorang pemikir  non-Muslim juga  menekankan bahwa hal  ini sesuai dengan ajaran Rasulullah Saw : “Muhammad tak pernah meminta orang Yahudi atau Kristen untuk menganut agama Allah, kecuali jika mereka sendiri yang betul-betul menginginkannya…”

    Keteladanan lainnya yang pasti diadaptasi oleh Utsmani ialah ketika Islam untuk pertama kalinya memasuki kota Jerusalem pada Februari 638 M dibawah pimpinan Umar Bin Khattab, setelah merebutnya dari Byzantium. Karen Armastrong kembali berpendapat mengenai hal ini :
    “Umar Juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari penganut (agama) monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya, dengan kemungkinan pengecualian pada Raja Daud.

    Ia memimpin satu penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang kota itu belum pernah menyaksikan sepanjang  sejarahnya  yang  panjang  dan  sering  tragis.  Saat  ketika  kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan disana, tidak ada penghancuran properti, tidak ada pembakaran simbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atau pengambilalihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk Islam.

    Jika sikap respek  terhadap  penduduk  yang  ditaklukkan  dari  Kota Jerusalem  itu  dijadikan sebagai tanda integritas kekuatan monoteistik, maka Islam telah memulainya untuk masa yang panjang di Jerusalem, dengan sangat baik tentunya.

    ” Trias Kuncahyono dalam bukunya; Jerusalem-Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir, ikut menambahkan gambaran akan toleransi yang diberikan oleh Pemerintah Utsmani kepada pemeluk Kristen (Ortodoks) Rusia yang menyelamatkan kelangsungan Kepatriarkan Gereja ini terutama setelah Revolusi Rusia 1917 :

    “Orang-orang Kristen Rusia diperkirakan mulai berziarah ke Tanah Suci (Palestina- Pen) sejak abad ke-11. Tetapi mereka tidak memiliki lembaga sendiri di Palestina, sampai abad ke-19. Setelah Perang Krimea, sewaktu jumlah peziarah dari Rusia meningkat drastis... Di tempat itu dibangunlah Gereja (1885).

    Revolusi Rusia 1917 dan penghinaan kaum Bolshevik terhadap gereja mendorong mereka untuk menghentikan perziarahan. Namun pada saat yang bersamaan, mereka membangun “Gereja  di  Pengasingan”.  Gereja  di  Tanah  Suci  itu  melanjutkan  Kepatriarkan Moskwa.”

    Semua Peradaban yang maju pasti akan menemukan stagnansi dan mengalami degradasi secara perlahan dan terus hilang. Ini sudah sangat lazim dalam sejarah manusia, karena pada dasarnya setiap individu, sebagai mikrokosmos juga terlibat kompetisi dengan individu lain dalam tinjauan makrokosmos hubungannya.

    Pemerintah Utsmani juga mengalami hal yang sama. Ekonomi kesultanan terpukul telak ketika orang-orang Belanda dan Britania mengembangkan rute laut ke Asia guna menggantikan rute darat melalui wilayah Utsmani. Ekonomi semakin terpukul oleh inflasi, yang penyebabnya antara lain aliran perak Spanyol dari koloni-koloni dunia  baru  di  Amerika  Selatan. 

    Serangkaian  pemerintahan  Sultan  yang  lemah menyebabkan rusaknya struktur-struktur pemerintahan dan militer yang tadinya kuat. Angkatan laut Utsmaniyah dikalahkan oleh Liga Suci yang dibentuk Paus Pius V dan kehilangan kendali atas Mediterania. Kemudian, selama abad ke-17, negara-negara yang lebih kuat di Eropa bermunculan dan bersekutu guna mengekang kekuasaan Utsmaniyah.

    Tatkala  keadaan  memburuk  dan  Utsmani  semakin  kehilangan  pamor di kancah internasional, konspirasi di dalam tubuh Utsmani juga  ikut  menggerogoti negara adidaya ini menjadi, seperti ucapan Tsar Nicholai I kepada Utsmani, “Orang Sakit dari Eropa”. Utsmani sempat melakukan Tanzimet (penataan ulang) atau reformasi dari tahun 1839-1876 yang  mengagendakan pengenalan pabrik,  sistem pendidikan, dan angkatan bersenjata modern.

    Hatt-I-Humayun (Pengumuman Reformasi Kekhalifahan) pada 1856 yang berisi tentang persamaan hak warga negara. Pada  tahun 1876  para  pendukung reformasi berpendidikan barat  yang  menyebut dirinya Utsmaniyah Muda (kemudian menjadi Turki Muda) memimpin kudeta militer guna  menegakkan  monarkhi  konstitusional. 

    Hasilnya  ialah  konstitusi  pertama kesultanan itu, Kanun-I Esasi (Hukum Dasar) dan adanya parlemen, yang diterbitkan Sultan Abdul Hamid II pada 1876, namun ia bekukan dua tahun kemudian. Setelah Revolusi Turki Muda pada 1908 dimenangkan oleh pendukung Tanzimet dan kaum Sekuler akhirnya Abdul Hamid II kembali menghidupkan parlemen.

    Keadaan lemah dan pertikaian internal Utsmani merupakan lahan yang subur bagi tumbuhnya gerakan yang paling dibenci oleh umat Yahudi Relijius, Rakyat Palestina yang masih menderita kini, dan siapapun yang bernurani : Zionisme. Zionisme adalah suatu ideology sekuler yang sangat dramatis dan sukses mencapai tujuannya di abad ke-20.
    Berakar dari rumusan sederhana terhadap kondisi riil fenomena  anti-Yahudi Eropa  yang  masih  terjadi  hingga  abad  ke-19.  Pendirinya adalah Theodor Herzl, seorang Yahudi kelahiran 2 Mei 1860 di Budapest, Hungaria. Tahun 1891, ia menerima penugasan dari Koran Neue Freie Press, sebagai koresponden di paris.

    Inilah kemudian yang merubah sejarah hidupnya saat ia meliput pengadilan Kapten Alfred Dreyfus, seorang Yahudi yang dituduh melakukan kegiatan mata-mata. Disinilah Herzl melihat merebaknya semangat anti-Yahudi (yang biasa diistilahkan oleh orang Yahudi sebagai anti-Semitisme).

    Kasus Dreyfus ini telah mengubah pendapatnya yang selama ini percaya pada teori “asimilasi” untuk penyelesaian  masalah  Yahudi.  Tahun  1896,  gagasannya dia  tulis  dalam  pamflet berjudul “Der Judenstaat” (Sebuah Negara Yahudi). Herzl nampaknya sangat agresif. Stahun  kemudian  ,  1897,  meskipun  menghadapi  banyak  tantangan, dia  sudah menyelenggarakan Kongres Zionis Pertama.

    Nama Zionisme sendiri diambil dari nama perbukitan utama di Jerusalem yaitu bukit Zion. Bukit ini telah menjadi symbol seluruh Jerusalem yang disucikan kaum Yahudi bahkan sejak zaman pembuangan Babel. Bahkan diabadikan dalam Perjanjian Lama, dalam Yesaya 52:2,”Kebaskanlah debu dari padamu, bangunlah, hai Jerusalem yang tertawan ! Tanggalkanlah ikatan-ikatan dari lehermu, hai puteri Zion yang tertawan !.

    ”Landasan ini yang diambil oleh Zionis untuk membawa Kaum Yahudi “Pulang” ke “Tanah Yang Dijanjikan-The Promised Land” (dalam hal ini ialah Palestina).Herzl juga dikenal sebagai tokoh yang memiliki jangkauan lobi yang begitu luas.  Ia  bahkan  sempat  berusaha  meyakinkan  Sultan  Abdul  Hamid  II  melalui perantara Kaiser Wilhelm II yang memiliki hubungan baik dengan Sultan. Kaisar kemudian mengirimkan surat kepada paman Sultan sebagai perantara :

    “Saya diyakinkan bahwa pendirian Kota Suci bagi bangsa kaya dan berindustri seperti Israel akan membawa pada kemakmuran yang belum tercontohkan dan membawa berkah bagi Kota Suci itu. Pendirian itu akan membawa jutaan (uang) bagi kas bangsa Turki.. dan secara bertahap akan membantu menyelamatkan “The Sick Man” dari kebangkrutan.”

    Sultan kemudian menolak keras tawaran Theodore Herzl dan menyampaikan ketegasannya pada Newlinsky seorang wartawan dan sahabat Herzl. Sultan menyampaikan :
    “Jika Tuan Herzl sebagaimana kamu juga mau menjadi temanku, maka nasihati dia, agar jangan mengambil langkah lagi dalam masalah ini. Saya tidak dapat menjual, walaupun sejengkal tanah ini (Palestina), yang bukan menjadi milikku, tetapi milik rakyatku.

    Rakyatku telah memenangkan Kekaisaran ini dengan bertempur untuknya, dengan mengucurkan darah mereka, dan telah menyuburkan tanah ini dengan darah mereka…. Turki Utsmani bukanlah milikku tetapi untuk rakyat Turki…Silakan Yahudi menabung miliaran (uang) mereka. Jika kekhalifahanku sudah terbagi-bagi, mereka mungkin akan mendapatkan Palestina tanpa imbalan.”

    Kaum Zionis mengambi jalan alternatif yang tepat dengan mengarahkan pandangannya kepada Organisasi Turki Muda. Sejumlah Yahudi (anggota Zionis) yang aktif dalam organisasi ini adalah Avram Galante dan Emanuel Karassu. Karassu sendiri adalah seorang ketua sebuah loji Freemason di Salonika.

    Bahkan mereka mampu merangkul para kader organisasi ini, salah satunya ialah Apdullah Cevdet yang dikenal sebagai simpatisan Gerakan Zionisme. Ia menyatakan, “Sejak kami membangun hubungan dengan peradaban Barat, satu kebangkitan intelektual telah terjadi; sebelum hubungan ini, masyarakat kami kurang kehidupan intelektual.”

    Kaum Zionis dengan segala manuvernya akhirnya mampu mewujudkan migrasi awal mereka secara besar-besaran. Aliyah I (Imigrasi Pertama) pada 1882-1904 telah mampu membawa 30.000 imigran Yahudi dari Eropa Timur yang didanai oleh  Rodschild  Family.  Aliyah  II  (1904-1914) telah  menggiring  33.000  imigran Yahudi.

    Mandat  Palestina  oleh  Liga  Bangsa-Bangsa pada  24  Juli  1924  telah mengokohkan Palestina sebagai “National Home” bagi Yahudi. Kekalahan Utsmani pada Perang Dunia I menyebabkan dihapusnya Kekhalifahan pada 1 november 1922, Sultan terakhir, Mehmed VI Vahideddin meninggalkan Istanbul pada 17 November, setahun  berikutnya  Republik  Turki  didirikan  pada  29  Oktober  1923.

    Palestina semakin sengsara  nasibnya  terutama  ketika seusai Perang Dunia II,  saat  hampir semua Yahudi semakin percaya pada Zionisme akibat kebrutalan Hitler, Palestina-lah yang harus “menyediakan rumah” bagi Yahudi. Tetapi, nampaknya masih ada sedikit  Umat  Yahudi Relijius  yang  berani  mengungkapkan kebenaran,  seperti  golongan Neturei Karta yang menolak pendirian Negara Israel melalui perampasan dan kekerasan, telah disebutkan dalam Kitab Talmud Ketubot : 111a.

    Neturei Karta, melalui  Rabbinya,  Yisroel Dovid  Weiss  menegaskan, “...Negara Zionis  itu  dibuat sebagai pengganti kesucian dan ketuhanan Agama Yahudi, yang mengubah keunikan mereka, (sebagai) esensi yang berakar mendalam, kepada satu teritori, satu politik Gentile (kafir).”

    Bahkan Abraham (Ibrahim AS) yang telah menerima janji dari Tuhan atas Tanah Palestina (bdk. Kejadian 15 : 18-21) masih harus membeli tanah pekuburan bagi Sara dari Efron orang Het disana : “Lalu Abraham menerima usul Efron, maka ditimbangnyalah perak untuk Efron, sebanyak yang dimintanya dengan didengar oleh Bani Het itu, empat ratus syikal perak seperti yang berlaku di antara para  saudagar”

    Bukan merebut,  merampas, dan  mengusir. Jika selama ini banyak yang mengira bahwa hanya umat Islam yang menderita di Tanah Suci itu, faktanya Umat Kristiani pun merasakan penindasan yang sama. Jangan heran apabila kita membaca banyak tokoh-tokoh Kristen Arab seperti Tewfik Canaan, Wadi Haddad, Hannan Ashrawi ataupun George Habash, serta lainnya yang bahu-membahu bersama kaum Muslimin ataupun orang Yahudi (yang bukan Zionis) dalam menentang Israel. Inilah  yang  terjadi setelah Utsmaniyah runtuh dan toleransi masih menjadi harapan panjang disana, di Al-Quds.

    Catatan Kaki :
    1 Bokhari, Raana, dan Mohammad Seddon, Ensiklopedia Islam,(Indonesia :Erlangga, 2011), hlm. 87.
    2 Ibid. hlm. 104.
    3 Ibid. hlm. 105.
    4  Crowley, Roger, 1453 : Detik-Detik Jatuhnya Konstantinopel,(Jakarta :Pustaka Alvabet,2011), hlm. 321.
    5 Ibid. hlm. 320.
    6 Ibid.
    7 Armstrong, Karen, Holy War : The Crusades and Their Impact on Today’s World,(London : McMillan London Ltd., 1991), hlm. 456.

    8 The New Encyclopedia Britanica.(Chicago : Encyclopedia Britanica Inc., 1985), hlm. 328.

    9 Gilbert, Martin (Ed.), Atlas of The Jewish People, (London :Andre Deutch Ltd., 1990), hlm.63.

    10  Crowley, Roger, 1453 : Detik-Detik Jatuhnya Konstantinopel,(Jakarta :Pustaka Alvabet, 2011). hlm. 321.

    11  Armstrong, Karen, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths,(London : Harper Collins Publishers, 1997), hlm. 325-326.

    12 Lockyer, Hapsburg and Bourbon Europe 1470-1720, (Essex : Longman, 1994), hlm. 308.

    13  Levi, Avigdor (Ed.), The Jews of The Ottoman Empire,(Princeton : The Darwin Press, 1994), hlm. 1-3 (bag. Introduction).

    14  Armstrong, Karen, Sejarah Tuhan : Kisah 4000 Tahun Pencarian Tuhan dalam Agama- Agama Manusia, (Bandung : PT. Mizan Pustaka, 2013, Cetakan Ketujuh), hlm. 239.

    15  Armstrong, Karen, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths,(London : Harper
    Collins Publishers, 1997), hlm. 228.

    16   Kuncahyono,  Trias,  Jerusalem  :  Kesucian,  Konflik  dan  Pengadilan  Akhir,(Jakarta  : Penerbit Kompas,2010), hlm. 205.

    17 Bokhari, Raana, dan Mohammad Seddon, Ensiklopedia Islam,(Indonesia :Erlangga, 2011), hlm. 106.

    18 Ibid. hlm. 107

    19 Magill, Frank. N., Dictionary of World Biography,(Chicago : Fritzoy Dearborn Publisher, 1999)

    20  Alkitab:  Perjanjian  Lama  dan  Perjanjian  baru,(Jakarta  : Lembaga  Alkitab  Indonesia, 2013), hlm. 794.

    21 J. Shaw, Stanford, The Jews of The Ottoman Empire and the Turkey Republic,(Houndmild : McMillan Academic Ltd., 1991), hlm. 212.

    22 Ibid.

    23  Waite, Arthur Edward, A New Encyclopedia of Freemasonry, (New York : Wing Books, 1996), hlm. xxxiii.

    24  Levi, Avigdor (Ed.), The Jews of The Ottoman Empire,(Princeton : The Darwin Press,

    1994), hlm. 534.

    25 J. Shaw, Stanford, The Jews of The Ottoman Empire and the Turkey Republic,(Houndmild : McMillan Academic Ltd., 1991), hlm. 215.

    26  Glubb, Faris, Zionizt Relation with Nazi Germany,(Newyork : New World Press, 1979), hlm. 26.

    27  Peretz,  Don,  dan  Gideon  Doron,  The  Government  and  Politics  of  Israel,(Colorado  : Westview Press, 1997), hlm. 25.

    28  Alkitab: Perjanjian Lama dan Perjanjian baru,(Jakarta : Lembaga  Alkitab Indonesia,2013), hlm. 13 dan 21.

    Komentar

    Tampilkan

    BREAKING NEWS