• Jelajahi

    Copyright © POSMETRO.ID
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Kriminal

    Sengketa Warisan Basri Saleng : Saat Keadilan Dibenturkan Dengan Tradisi

    11 Agustus 2024, Agustus 11, 2024 WIB Last Updated 2024-08-11T12:06:57Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini


    POSMETRO.ID | LUWU - Di sebuah ruangan kecil di Kantor Desa Baramamase, riuh suara diskusi memenuhi udara. Di sinilah, keluarga almarhum Basri Saleng mencoba mencari solusi untuk membagi tanah warisan mereka. Namun, seperti banyak kisah lainnya, apa yang seharusnya menjadi jalan menuju keadilan justru berubah menjadi ajang pertarungan yang menguras emosi dan menguji nilai-nilai kekeluargaan.


    Almarhum Basri Saleng adalah sosok yang dikenal oleh masyarakat Desa Baramamase sebagai pribadi yang baik dan tegas. Namun, seperti banyak orang lainnya, Basri pergi meninggalkan dunia tanpa meninggalkan petunjuk atau wasiat mengenai bagaimana warisannya seharusnya dibagi. Tanah seluas 5.500 meter persegi di Dusun Kampung Baru yang menjadi warisan dari orang tuanya, kini menjadi titik sengketa di antara para ahli waris.


    Di tengah-tengah rapat, Rida Jufri, istri ketiga almarhum yang telah merawatnya hingga akhir hayat, menjadi pusat perhatian. Tidak hanya karena statusnya sebagai istri terakhir, tetapi juga karena ia membawa harapan bahwa keadilan bisa ditegakkan untuk kedua putranya—anak kandung almarhum dari pernikahan tersebut. Namun, harapan itu semakin memudar ketika Bahri, saudara kandung almarhum, menolak untuk bersumpah di hadapan Al-Qur’an yang dibawa oleh Sarif, perwakilan keluarga Rida Jufri. “Untuk apa pakai yang seperti ini,” ucap Bahri dengan nada emosional, memukul kitab suci yang menjadi simbol kejujuran dalam rapat tersebut.


    Sengketa warisan seringkali memperlihatkan sisi lain dari manusia, ketika nilai kekeluargaan dan tradisi bertabrakan dengan keinginan untuk mendapatkan bagian yang dianggap sah. Dalam rapat tersebut, keluarga almarhum Basri mengklaim bahwa tanah itu seharusnya dibagi menjadi enam kavling, berdasarkan pengakuan lisan yang pernah didengar dari almarhum semasa hidupnya. Namun, keluarga Rida Jufri mempertanyakan kebenaran klaim tersebut, terutama karena tidak ada bukti tertulis yang mendukungnya.


    “Jika memang benar almarhum telah membagikan tanah tersebut, lalu kapan itu terjadi? Dan apakah ada bukti tertulis?” tanya Fadly, perwakilan keluarga Rida Jufri. Pertanyaan ini disambut dengan keheningan sebelum akhirnya Hj. Tini, saudara kelima almarhum, mengakui bahwa pembagian tersebut terjadi sebelum pernikahan Basri dengan Rida Jufri.


    Namun, fakta bahwa pernikahan Rida Jufri dengan Basri Saleng terjadi pada tahun 1990, enam tahun sebelum dokumen Pajak Bumi Bangunan (PBB) pertama kali diterbitkan, memicu pertanyaan lain. Apakah hak atas tanah itu tidak seharusnya juga diberikan kepada anak-anak dari pernikahan ketiga tersebut? Ini adalah pertanyaan yang tidak mudah dijawab, terutama ketika perbedaan pendapat terus mengemuka di antara keluarga besar.


    Saat ini, harapan untuk mencapai kesepakatan melalui musyawarah keluarga semakin pudar. Kepala Desa Baramamase bersama Camat Walenrang akhirnya memutuskan untuk melimpahkan kasus ini ke Pengadilan Negeri Palopo. Mungkin di sana, di bawah payung hukum, keadilan yang diharapkan oleh semua pihak bisa tercapai. Namun, apapun hasilnya nanti, sengketa ini telah meninggalkan bekas yang mendalam, mengingatkan kita bahwa ketika warisan diperebutkan, seringkali yang hilang adalah kehangatan persaudaraan yang pernah ada*

    Komentar

    Tampilkan

    BREAKING NEWS