POSMETRO.ID | PRABUMULIH - Di kawasan Jalan Lingkar Timur Kota Prabumulih, diantara rindangnya batang pohon perkebunan karet milik warga pabrik kecil dan sederhana berdiri dengan kesibukan diwarnai deru suara mesin pencacah ubi. Lahan pabrik itu tidak terlalu luas, tetapi penuh aktivitas. Dulu seingat saya kawasan ini merupakan stokfile batu seplit koral untuk kepentingan bahan bangunan.
Saat memasuki kawasan pabrik, pemandangan yang tak biasa langsung menyambut saya. Sebuah bangkai eskavator berkarat di sudut halaman mengalihkan imazinasi saya. Eskavator itu adalah saksi bisu dari perjuangan Inhar Kamaluddin di masa lalu, saat ia sempat membuka bisnis stok file batu koral yang baunya masih semerbak.
Pada perinsipnya, Kamal, pemilik pabrik tersebut, bukanlah sosok yang mudah menyerah. Setelah usaha stik file batu seplit tak lagi berlanjut, ia mencoba peruntungan lain dengan membuka rumah makan bernama Pindang TSG. Namun, badai kembali menghampiri, dan usaha kuliner itu pun terpaksa berhenti beroperasi. Meski demikian, Kamal tak pernah kehilangan semangat. Baginya, kegagalan adalah bagian dari perjalanan menuju kesuksesan.
Kini, pabrik pengolahan ubi racun menjadi fokus barunya. Pabrik ini berdiri kokoh sebagai simbol perjuangan dan semangat pantang menyerah Kamal. Aktivitas di dalamnya begitu hidup: para pekerja lokal tampak sibuk mengolah ubi racun menjadi gaplek kering, yang kini menjadi produk bernilai ekonomi tinggi. Di sela-sela kesibukannya, Kamal tetap dikenal sebagai sosok yang peduli. Meski terpaan badai silih berganti menghadang, jiwa sosial Pria yang pernah aktif di salah satu Ormas itu pun tak pernah pudar. Di tengah kesibukannya ia selalu membantu masyarakat kurang mampu, dan berbagi apa yang ia miliki.
Kamal adalah cerminan semangat gigih dan jiwa sosial yang patut diteladani. Ia membuktikan bahwa kegagalan bukanlah akhir, melainkan langkah menuju pencapaian baru. Dari pabrik kecil ini, ia membangun harapan—bagi dirinya, pekerjanya, dan petani lokal yang kini bergantung pada usahanya.
Di dalam pabrik, para pekerja tampak sibuk memilah, memotong, dan mengeringkan ubi yang kelak diolah menjadi gaplek. Di balik semua kesibukan ini, Kamal menjadi agen perubahan yang mengubah potensi kecil menjadi dampak besar bagi banyak orang.
Kamal bukan sekadar pemilik pabrik. Ia adalah simbol harapan bagi para petani ubi di Prabumulih yang selama ini kesulitan menjual hasil panen mereka dengan harga layak. Lewat Tiga Saudara Grup (TSG), ia menciptakan solusi yang bukan hanya menguntungkan petani, tetapi juga mendukung program pemerintah dalam menciptakan ketahanan pangan.
Kamal menceritakan awal mula perjalanan usahanya. Ubi racun, yang dulunya dianggap tidak bernilai dan sulit dipasarkan dan bahkan banyak terbuang, menjadi tantangan tersendiri bagi petani. Tengkulak sering kali memainkan harga, membuat petani hanya bisa pasrah.
“Saya berpikir, kenapa kita tidak mengolahnya menjadi sesuatu yang bernilai? Dari situ, ide pabrik pengolahan gaplek ini muncul,” ujar Kamal sambil mengamati proses pengeringan ubi di pabriknya.
Kini, pabriknya mampu memproduksi 15 ton gaplek kering per minggu dari bahan baku 30 ton ubi racun. Dengan harga jual Rp3.000 per kilogram, usahanya tidak hanya menghasilkan keuntungan, tetapi juga memberikan stabilitas harga bagi petani. Dan itu pula yang kini dibanggakan mitra tani Inhar Kamaluddin itu.
“Sekarang, petani tidak lagi menjual hasil panennya ke tengkulak. Kami membeli langsung dari mereka dengan harga Rp1.200 per kilogram. Ini membantu mereka mendapatkan penghasilan yang lebih baik,” jelas Kamal.
Selain membantu petani, Kamal juga membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat. Saat ini, 10 tenaga kerja lokal bergabung di pabriknya. Bagi mereka, pekerjaan ini bukan hanya soal penghasilan, tetapi juga kebanggaan bisa terlibat dalam usaha yang berdampak besar.
“Dengan bekerja di sini, saya tidak hanya mendapatkan penghasilan, tetapi juga belajar banyak hal. Kami merasa bangga karena turut mendukung petani lokal dan perekonomian daerah,” ujar salah satu pekerja pabrik milik Kamal.
Usaha Kamal sejalan dengan visi pemerintah dalam menciptakan ketahanan pangan melalui pemanfaatan potensi lokal. Gaplek kering hasil produksinya menjadi bahan baku penting untuk berbagai industri, termasuk pakan ternak dan bioenergi.
“Kami ingin membuktikan bahwa potensi lokal, seperti ubi racun, bisa diolah menjadi produk bernilai tinggi. Ini bukan hanya soal bisnis, tapi juga kontribusi untuk ketahanan pangan,” tutur Kamal penuh semangat.
Begitu, Kamal mengaku tidak berhenti sampai di sini. Ia berencana memperluas kapasitas produksi dan mengajak lebih banyak petani bergabung sebagai mitra. Dengan demikian, manfaat usahanya bisa dirasakan lebih luas lagi.
“Saya ingin usaha ini menjadi contoh bahwa dari sesuatu yang kecil, kita bisa menciptakan perubahan besar,” ujar Kamal, tersenyum optimis.
Dalam perjalanannya, Kamal membuktikan bahwa mendukung ketahanan pangan tidak harus dimulai dari langkah besar. Dengan niat baik dan keberanian memanfaatkan potensi lokal, ia telah mengubah hidup banyak orang di sekitarnya. Dari pabrik kecil itu, Kamal telah menciptakan harapan baru—harapan yang menginspirasi dan membawa perubahan nyata * Jun M