POSMETRO.ID | PRABUMULIH - Sengketa lahan proyek jalan tol di Prabumulih kembali memasuki babak baru. Setelah proses panjang dan putusan inkrah yang keluar dari Pengadilan Negeri Prabumulih, warga dan tim kuasa hukumnya masih belum menyerah. Mereka menilai sistem peradilan yang ada seolah tidak berpihak kepada mereka. Di balik meja hijau pengharapan keadilan tampak terasa lebih rumit dari yang dibayangkan.
16 Oktober 2024 lalu, Pengadilan Negeri Prabumulih memutuskan bahwa gugatan yang diajukan terkait sengketa lahan tol dinyatakan ne bis in idem—artinya, gugatan tersebut dianggap batal karena telah diperkarakan sebelumnya. Dalam waktu 14 hari, pihak penggugat, yang diwakili oleh tim kuasa hukum Hj. Azidah, masih bisa mengajukan gugatan baru. Namun, meski waktu itu belum habis, gugatan baru yang diajukan tampaknya menemui jalan terjal.
Menurut Ricard Fernando, kuasa hukum pihak penggugat, keputusan tersebut dinilai “kabur” dan masih terbuka untuk ditinjau kembali. “Kami akan mengajukan gugatan baru karena, menurut kami, objek dan pihak yang digugat berbeda. Dalam gugatan pertama, lahan sengketa adalah seluas 80 hektar, sedangkan gugatan baru memiliki objek yang berbeda,” jelas Ricard.
Ketika gugatan baru didaftarkan melalui sistem elektronik pengadilan pada 28 Oktober, Ricard mengaku mengalami kendala yang membuat pendaftaran terasa lamban. "Kami mendaftar sejak tanggal 28 Oktober, tetapi baru diregistrasi tanggal 1 November. Padahal uang pendaftaran dan surat kuasa baru sudah kami lengkapi,” katanya. Baginya, ada celah yang seolah dimanfaatkan oleh pihak Pengadilan Negeri untuk menunda proses ini.
Ricard bahkan mendatangi Badan Pengawas (BAWAS) di Pengadilan Tinggi dan melaporkan proses ini kepada Dewan Pengawas Pusat. Ia juga melayangkan laporan kepada Kementerian ATR/BPN, berharap ada pengawasan ketat terhadap proses hukum yang tengah berjalan. “Kami menduga, pihak pengadilan dan BPN kurang profesional. Harusnya mereka bisa lebih transparan dan cepat dalam menangani berkas kami,” lanjutnya.
Humas Pengadilan Negeri Prabumulih, Norman Mahaputra, bersama Wakil Ketua PN, Sugiri, turut memberikan klarifikasi terkait polemik ini. Norman menegaskan bahwa sistem elektronik pengadilan berjalan sesuai prosedur dan tak ada unsur kesengajaan untuk menunda pendaftaran. “Sistem kami bekerja by sistem. Kalau penggugat datang jam 4 sore, pasti akan diproses esok harinya. Semua persyaratan pendaftaran harus lengkap sebelum kami bisa melanjutkan proses,” ujar Norman.
Sugiri menambahkan bahwa keputusan “ne bis in idem” merupakan hasil pertimbangan hakim. “Putusan sudah inkrah sejak tanggal 30 Oktober, dan sejak itu pula kami sudah menjalankan proses verifikasi administrasi pencairan konsinyasi melalui pihak BPN. Tidak ada niatan dari kami untuk menghambat hak warga, tetapi kami harus tetap mematuhi prosedur hukum,” jelasnya.
Kepala Seksi Pengadaan Tanah BPN Kota Prabumulih, Puput Fatimah, menuturkan bahwa verifikasi berkas telah dilakukan sesuai Peraturan Pemerintah (PP 39). Pihak BPN bersama pengadilan mendatangi lokasi pada tanggal 1 November untuk verifikasi akhir yang berlangsung hingga larut malam. “Ini karena ada beberapa perbaikan berkas dan harus diverifikasi satu per satu, jadi membutuhkan waktu,” ungkap Puput.
Kasus ini menjadi simbol konflik yang lebih besar tentang bagaimana proses hukum yang panjang dan kompleks dapat menjadi penghalang bagi warga untuk memperoleh keadilan. Di tengah perselisihan hukum, harapan agar pemerintah lebih tanggap dan adil bagi warganya masih terus bergulir.
Kini, publik Prabumulih menanti, apakah gugatan baru ini akan membuka peluang baru bagi para warga dalam mencari keadilan, atau justru menjadi babak baru dalam kisah sengketa yang tampaknya tak kunjung berakhir.